Bulan ini kita telah memasuki dalam bulan Rajab.
Tidak sedikit kaum Muslimin di Indonesia, yang mentradisikan puasa Sunnah ketika memasuki bulan-bulan mulia seperti bulan Rajab. Persoalannya, setelah merebaknya aliran Salafi-Wahabi di Indonesia, beragam tradisi ibadah dan keagamaan yang telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara, seperti puasa Sunnah di bulan Rajab selalu dipersoalkan oleh mereka dengan alasan bid’ah, haditsnya palsu dan alasan-alasan
lainnya.
Seakan-akan mereka ingin menghalangi umat
Islam dari mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
beribadah puasa. Oleh karena itu tulisan ini, berupaya
menjernihkan hukum puasa Rajab berdasarkan
pandangan para ulama yang otoritatif.
Hukum Puasa Rajab
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa
Rajab.
Pertama, mayoritas ulama dari kalangan Madzhab
Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa puasa
Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini
juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.
Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat
bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari)
hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa
pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan
menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau
dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan
berpuasa pada bulan yang lain.
Para ulama madzhab Hanbali juga berbeda pendapat tentang menentukan bulan-bulan haram dengan puasa. Mayoritas mereka
menghukumi sunnah, sementara sebagian lainnya tidak
menjelaskan kesunnahannya.
Berikut pernyataan para ulama madzhab empat
tentang puasa Rajab.
Madzhab Hanafi
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:
ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻱ ﺍﻟﻬﻨﺪﻳﺔ 1/202 : ( ﺍﻟﻤﺮﻏﻮﺑﺎﺕ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺃﻧﻮﺍﻉ ) ﺃﻭﻟﻬﺎ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺻﻮﻡ
ﺭﺟﺐ ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺻﻮﻡ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻭﺻﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ) ﺍﻩ
“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya.
Pertama, puasa bulan Muharram,
kedua puasa bulan Rajab,
Ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
Madzhab Maliki
Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil
(2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan,
al-Kharsyi berkata:
( ﻭﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﺭﺟﺐ ﻭﺷﻌﺒﺎﻥ ) ﻳﻌﻨﻲ : ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺻﻮﻡ ﺷﻬﺮ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﻫﻮ ﺃﻭﻝ ﺍﻟﺸﻬﻮﺭ ﺍﻟﺤﺮﻡ , ﻭﺭﺟﺐ
ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﻔﺮﺩ ﻋﻦ ﺍﻷﺷﻬﺮ ﺍﻟﺤﺮﻡ ) ﺍﻩ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﺷﻴﺔ ﻋﻠﻴﻪ : ( ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﺭﺟﺐ ) , ﺑﻞ ﻳﻨﺪﺏ ﺻﻮﻡ
ﺑﻘﻴﺔ ﺍﻟﺤﺮﻡ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻭﺃﻓﻀﻠﻬﺎ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻓﺮﺟﺐ ﻓﺬﻭ ﺍﻟﻘﻌﺪﺓ ﻓﺎﻟﺤﺠﺔ ) ﺍﻩ
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan
berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram
pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.”
Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan
pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa
pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang
paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul
Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-
Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani
(2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa
al-Iklil (3/220).
Madzhab Syafi’i
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab (6/439),
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ 6/439 : ( ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺍﻟﻤﺴﺘﺤﺐ ﺻﻮﻡ ﺍﻷﺷﻬﺮ
ﺍﻟﺤﺮﻡ , ﻭﻫﻲ ﺫﻭ ﺍﻟﻘﻌﺪﺓ ﻭﺫﻭ ﺍﻟﺤﺠﺔ ﻭﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﺭﺟﺐ , ﻭﺃﻓﻀﻠﻬﺎ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ , ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺮﻭﻳﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺮ :
ﺃﻓﻀﻠﻬﺎ ﺭﺟﺐ , ﻭﻫﺬﺍ ﻏﻠﻂ ; ﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺍﻟﺬﻱ ﺳﻨﺬﻛﺮﻩ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ } ﺃﻓﻀﻞ ﺍﻟﺼﻮﻡ
ﺑﻌﺪ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺷﻬﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ) ﺍﻩ
“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i)
berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah
puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah,
Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah
Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang
paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani
ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami
sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling
utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan
Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-
Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53),
Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan
lain-lain.
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitab al-
Mughni (3/53):
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻐﻨﻲ 3/53 ﻓﺼﻞ : ﻭﻳﻜﺮﻩ ﺇﻓﺮﺍﺩ ﺭﺟﺐ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ . ﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ : ﻭﺇﻥ
ﺻﺎﻣﻪ ﺭﺟﻞ , ﺃﻓﻄﺮ ﻓﻴﻪ ﻳﻮﻣﺎ ﺃﻭ ﺃﻳﺎﻣﺎ , ﺑﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺼﻮﻣﻪ ﻛﻠﻪ … ﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ : ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻮﻡ
ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺻﺎﻣﻪ , ﻭﺇﻻ ﻓﻼ ﻳﺼﻮﻣﻪ ﻣﺘﻮﺍﻟﻴﺎ , ﻳﻔﻄﺮ ﻓﻴﻪ ﻭﻻ ﻳﺸﺒﻬﻪ ﺑﺮﻣﻀﺎﻥ ) ﺍﻩ
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab
dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata:
“Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah
dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak
berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga
berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh,
maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak
berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus
menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan
menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):
ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ ﻻﺑﻦ ﻣﻔﻠﺢ 3/118 : ( ﻓﺼﻞ : ﻳﻜﺮﻩ ﺇﻓﺮﺍﺩ ﺭﺟﺐ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻧﻘﻞ ﺣﻨﺒﻞ : ﻳﻜﺮﻩ , ﻭﺭﻭﺍﻩ
ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﻭﺍﺑﻨﻪ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮﺓ , ﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ : ﻳﺮﻭﻯ ﻓﻴﻪ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻀﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﺻﻮﻣﻪ , ﻭﺍﺑﻦ
ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ : ﻳﺼﻮﻣﻪ ﺇﻻ ﻳﻮﻣﺎ ﺃﻭ ﺃﻳﺎﻣﺎ … ﻭﺗﺰﻭﻝ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﺑﺎﻟﻔﻄﺮ ﺃﻭ ﺑﺼﻮﻡ ﺷﻬﺮ ﺁﺧﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ,
ﻗﺎﻝ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻤﺤﺮﺭ : ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻠﻪ .
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab
dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan
meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.”
Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa
Rajab”.
Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab,
kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak
berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama.
Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan
tersebut tidak bergandengan.”
DALIL PUASA RAJAB
Dalil Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa
Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan
beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut
dapat diklasifikasi menjadi tiga:
Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan
puasa sunnah secara mutlak.
Dalam konteks ini, al- Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53) dan fatwa beliau mengutip
dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ 2/53 ﻭﻳﻮﺍﻓﻘﻪ ﺇﻓﺘﺎﺀ ﺍﻟﻌﺰ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﺈﻧﻪ
ﺳﺌﻞ ﻋﻤﺎ ﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻣﻦ ﻣﻨﻊ ﺻﻮﻡ ﺭﺟﺐ ﻭﺗﻌﻈﻴﻢ ﺣﺮﻣﺘﻪ ﻭﻫﻞ ﻳﺼﺢ ﻧﺬﺭ ﺻﻮﻡ ﺟﻤﻴﻌﻪ
ﻓﻘﺎﻝ ﻓﻲ ﺟﻮﺍﺑﻪ : ﻧﺬﺭ ﺻﻮﻣﻪ ﺻﺤﻴﺢ ﻻﺯﻡ ﻳﺘﻘﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻤﺜﻠﻪ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺻﻮﻣﻪ ﺟﺎﻫﻞ
ﺑﻤﺄﺧﺬ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻭﻛﻴﻒ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻨﻬﻴﺎ ﻋﻨﻪ ﻣﻊ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺩﻭﻧﻮﺍ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﺃﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ
ﺍﻧﺪﺭﺍﺟﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﺻﻮﻣﻪ ﺑﻞ ﻳﻜﻮﻥ ﺻﻮﻣﻪ ﻗﺮﺑﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﻣﻦ
ﺍﻟﺘﺮﻏﻴﺐ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻣﺜﻞ : ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ } ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﻞ ﻋﻤﻞ ﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﻟﻪ ﺇﻻ
ﺍﻟﺼﻮﻡ { ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ } ﻟﺨﻠﻮﻑ ﻓﻢ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﺃﻃﻴﺐ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺭﻳﺢ ﺍﻟﻤﺴﻚ { ﻭﻗﻮﻟﻪ
} ﺇﻥ ﺃﻓﻀﻞ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺻﻴﺎﻡ ﺃﺧﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻳﻔﻄﺮ ﻳﻮﻣﺎ { ﻭﻛﺎﻥ ﺩﺍﻭﺩ ﻳﺼﻮﻡ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻘﻴﻴﺪ
ﺑﻤﺎ ﻋﺪﺍ ﺭﺟﺒﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻬﻮﺭ ) ﺍﻩ
“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin
Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari
sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan
mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa
satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata
dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah
dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah
dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa
Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-
hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai.
Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang
datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan
berpuasa seperti sabda Nabi SAW: “Allah berfirman,
semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”,
dan sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa
saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka
sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh
bulan misalnya selain bula Rajab.”
Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar (4/291):
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻮﻛﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﻧﻴﻞ ﺍﻷﻭﻃﺎﺭ 4/291 : ( ﻭﻗﺪ ﻭﺭﺩ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺻﻮﻣﻪ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ ﻭﺍﻟﺨﺼﻮﺹ : ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ : ﻓﺎﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺮﻏﻴﺐ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ ﺍﻷﺷﻬﺮ ﺍﻟﺤﺮﻡ ﻭﻫﻮ ﻣﻨﻬﺎ
ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ . ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩﺓ ﻓﻲ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﻣﻄﻠﻖ ﺍﻟﺼﻮﻡ … ) ﺍﻩ
“Telah datang dalil yang menunjukkan pada
disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus.
Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-
hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-
bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram
berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits
yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat
secara mutlak.”
Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-
bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322)
sebagai berikut ini:
ﻋﻦ ﻣﺠﻴﺒﺔ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻴﺔ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻬﺎ ﺃﻭ ﻋﻤﻬﺎ ﺃﻧﻪ : ﺃﺗﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﺍﻧﻄﻠﻖ ﻓﺄﺗﺎﻩ
ﺑﻌﺪ ﺳﻨﺔ ﻭﻗﺪ ﺗﻐﻴﺮﺕ ﺣﺎﻟﺘﻪ ﻭﻫﻴﺌﺘﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻣﺎ ﺗﻌﺮﻓﻨﻲ ﻗﺎﻝ ﻭﻣﻦ ﺃﻧﺖ ﻗﺎﻝ ﺃﻧﺎ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ
ﺍﻟﺬﻱ ﺟﺌﺘﻚ ﻋﺎﻡ ﺍﻷﻭﻝ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﺎ ﻏﻴﺮﻙ ﻭﻗﺪ ﻛﻨﺖ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﻬﻴﺌﺔ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺃﻛﻠﺖ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﺇﻻ ﺑﻠﻴﻞ ﻣﻨﺬ
ﻓﺎﺭﻗﺘﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻋﺬﺑﺖ ﻧﻔﺴﻚ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﺻﻢ ﺷﻬﺮ ﺍﻟﺼﺒﺮ ﻭﻳﻮﻣﺎ ﻣﻦ
ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﻗﺎﻝ ﺯﺩﻧﻲ ﻓﺈﻥ ﺑﻲ ﻗﻮﺓ ﻗﺎﻝ ﺻﻢ ﻳﻮﻣﻴﻦ ﻗﺎﻝ ﺯﺩﻧﻲ ﻗﺎﻝ ﺻﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻗﺎﻝ ﺯﺩﻧﻲ ﻗﺎﻝ ﺻﻢ
ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﻡ ﻭﺍﺗﺮﻙ ﺻﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﻡ ﻭﺍﺗﺮﻙ ﺻﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﻡ ﻭﺍﺗﺮﻙ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﺄﺻﺎﺑﻌﻪ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻓﻀﻤﻬﺎ ﺛﻢ ﺃﺭﺳﻠﻬﺎ
)
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya,
bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi.
Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan
kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau
bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku
Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW
bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu
bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali
malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW
bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau
bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu
hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah
kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab:
“Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata:
“Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab:
“Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata:
“Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi
berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439):
“Nabi SAW menyuruh laki-laki tersebut berpuasa
sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan
meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena
berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan
fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan,
maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram
adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga
dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari
dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-
Haitami dalam Fatawa -nya (2/53).
Ketiga , hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan
bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut
meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih
diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti
ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa -
nya (2/53).
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa
Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid
berikut ini:
ﻓﻲ ﺳﻨﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ 4/201 : ( ﻋﻦ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﺃﺭﻙ ﺗﺼﻮﻡ ﺷﻬﺮﺍ
ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻬﻮﺭ ﻣﺎ ﺗﺼﻮﻡ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﺫﻟﻚ ﺷﻬﺮ ﻳﻐﻔﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻪ ﺑﻴﻦ ﺭﺟﺐ ﻭﺭﻣﻀﺎﻥ ) ﺍﻩ
“Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid,
berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu
berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau
berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani
berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4/291): “Hadits
Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya
puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut,
kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk
mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa,
sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan
Rajab dengan berpuasa.”
Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat
beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa
ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa
Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan
lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits
seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.
Dalil Madzhab Hanbali
Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat
bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara penuh
dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi
kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua
cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam
bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di
bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut
tidak berdampingan dengan bulan Rajab.
Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan
berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus,
didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW
pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau
menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR.
Ibnu Abi Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).
Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-
bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
“Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah
meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya
berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.).
Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW melarang
puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini
dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al- Fatawa al-Kubra [2/479], dan lain-lain).
Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar
dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar
pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar
dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu,
dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab
jauh lebih kuat dan lebih shahih sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya.
Demikian catatan sederhana tentang hukum puasa
Rajab. Wallahul muwaffiq.
Muhammad Idrus Ramli
Di kutip dari blog ustadz muhammad idrus ramli